Menyoal Bid’ah Hasanah
Reaksi spontan ketika kita ingatkan tentang larangan bid’ah, orang yang menyukai bid’ah akan berkata : ” Yang dilarang itu bid’ah yang buruk, bid’ah yang baik tidak apa-apa ”. Padahal Nabi shalallahu alaihi wasallam tidak pernah memperkenalkan pembegian dua bid’ah itu. Bahkan secara tegas hadist Nabi shalallahu alaihi wasallam menunjukkan kesesatan bid’ah secara mutlak. Beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda :
Yang artinya : “ Karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat “
(HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud )
Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa hadist ini merupakan kaidah agama yang berlaku mutlak. Hal yang senada dikatakan ole syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin , " Kata ' Setiap Bid'ah' mengandung pengertian yang bersifat umum dan mutlak, karena diperkokoh dengan kata yang menunjukkan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat , yakni 'setiap' ." Beliau juga menegaskan, " maka setiap apa saja yang diklaim sebagai bid'ah hasanah, hendaklah dijawab dengan dalil ini. Dan atas dasar inilah maka tak ada sedikitpun peluang bagi pada ahli bid'ah untuk menganggap bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.
Untuk itu kalau mau membagi bid'ah menjadi dua , bid'ah baik dan bid'ah buruk, mestinya kata sesat juga dibagi dua yaitu sesat baik dan sesat buruk. Tapi adakah sesat yang baik ?
Adanya bid'ah hasanah sering dialamatkan kepada shahabat Uman bin Khathab radhiallahu 'anhu yang megatakan tentang shalat terawih , "Ni'matul bid'ah hadzihi ", sebaik-baik bid'ah adalah ini. Hal ini terbantah dengan berbagai sisi :
Pertama, kalaupun maksud perkataan Umar adalah seperti yang mereka maksudkan, maka tidak boleh mengkonfrontasikan hadist Nabi dengan perkataan shahabat. Abdullah bin 'Abbas radhiallahu 'anhu bahkan pernah berkata, " Hampir-hampir hujan batu menjatuhi kalian, Aku katakan Rasulullah bersabda, kalian menyanggahnya Abu Bakar berkata, Umar berkata."
Kedua, yang dimaksud oleh Umar radhiallahu 'anhu adalah bid'ah dengan pengertian bahasa, bukan bid'ah secara syar'i. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsier. " Kadang bid'ah disebut dalam pengertian bahasa, sebagaimana perkataan amirul mukminin Umar bin Khatab ketika mengumpulkan orang untuk shalat terawih " Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Ketiga, Shalat terawih berjama'ah yang dianjurkan Umar, tidak dikatakan sebagai bid'ah secara syar'i, karena amalan itu ada contohnya dari Nabi . Dalilnya adalah riwayat Aisyah radhiallahu 'anha, bahwa suatu malam Rasulullah shalat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, maka banyak orang menjadi makmumnya, lau mereka berkumpul pada hari ketiga dan keempat, tapi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak ke masjid. ketika datang pagi Beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda, " Sungguh aku tau apa yang kalian perbuat semalam, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali karena khawatir jika shalat jamaah terawih itu menjadi wajib atas kalian."
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah menjelaskan sebab mengapa beliau meninggalkan jamaah terawih.Takkala Umar melihat bahwa sebab yang menghalangi itu sudah tiada, maka Umar menghidupkan sunnah itu kembali. Berbeda dengan orang yang mengamalkan amalan-amalan baru lalu dengan modal niat baik atau tata cara yang kelihatan baik, lalu menganggap telah menghidupkan sunnah sebagaimana Umar radhiallahu 'anhu. Wallahu a'lam
sumber : Majalah ar-risalah no 58 tahun V
Reaksi spontan ketika kita ingatkan tentang larangan bid’ah, orang yang menyukai bid’ah akan berkata : ” Yang dilarang itu bid’ah yang buruk, bid’ah yang baik tidak apa-apa ”. Padahal Nabi shalallahu alaihi wasallam tidak pernah memperkenalkan pembegian dua bid’ah itu. Bahkan secara tegas hadist Nabi shalallahu alaihi wasallam
Yang artinya : “ Karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat “
(HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud )
Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa hadist ini merupakan kaidah agama yang berlaku mutlak. Hal yang senada dikatakan ole syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin , " Kata ' Setiap Bid'ah' mengandung pengertian yang bersifat umum dan mutlak, karena diperkokoh dengan kata yang menunjukkan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat , yakni 'setiap' ." Beliau juga menegaskan, " maka setiap apa saja yang diklaim sebagai bid'ah hasanah, hendaklah dijawab dengan dalil ini. Dan atas dasar inilah maka tak ada sedikitpun peluang bagi pada ahli bid'ah untuk menganggap bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.
Untuk itu kalau mau membagi bid'ah menjadi dua , bid'ah baik dan bid'ah buruk, mestinya kata sesat juga dibagi dua yaitu sesat baik dan sesat buruk. Tapi adakah sesat yang baik ?
Adanya bid'ah hasanah sering dialamatkan kepada shahabat Uman bin Khathab radhiallahu 'anhu yang megatakan tentang shalat terawih , "Ni'matul bid'ah hadzihi ", sebaik-baik bid'ah adalah ini. Hal ini terbantah dengan berbagai sisi :
Pertama, kalaupun maksud perkataan Umar adalah seperti yang mereka maksudkan, maka tidak boleh mengkonfrontasikan hadist Nabi dengan perkataan shahabat. Abdullah bin 'Abbas radhiallahu 'anhu bahkan pernah berkata, " Hampir-hampir hujan batu menjatuhi kalian, Aku katakan Rasulullah bersabda, kalian menyanggahnya Abu Bakar berkata, Umar berkata."
Kedua, yang dimaksud oleh Umar radhiallahu 'anhu adalah bid'ah dengan pengertian bahasa, bukan bid'ah secara syar'i. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsier. " Kadang bid'ah disebut dalam pengertian bahasa, sebagaimana perkataan amirul mukminin Umar bin Khatab ketika mengumpulkan orang untuk shalat terawih " Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Ketiga, Shalat terawih berjama'ah yang dianjurkan Umar, tidak dikatakan sebagai bid'ah secara syar'i, karena amalan itu ada contohnya dari Nabi . Dalilnya adalah riwayat Aisyah radhiallahu 'anha, bahwa suatu malam Rasulullah shalat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, maka banyak orang menjadi makmumnya, lau mereka berkumpul pada hari ketiga dan keempat, tapi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak ke masjid. ketika datang pagi Beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda, " Sungguh aku tau apa yang kalian perbuat semalam, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali karena khawatir jika shalat jamaah terawih itu menjadi wajib atas kalian."
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah menjelaskan sebab mengapa beliau meninggalkan jamaah terawih.Takkala Umar melihat bahwa sebab yang menghalangi itu sudah tiada, maka Umar menghidupkan sunnah itu kembali. Berbeda dengan orang yang mengamalkan amalan-amalan baru lalu dengan modal niat baik atau tata cara yang kelihatan baik, lalu menganggap telah menghidupkan sunnah sebagaimana Umar radhiallahu 'anhu. Wallahu a'lam
sumber : Majalah ar-risalah no 58 tahun V
0 komentar:
Posting Komentar